Dalam sahih Bukhari pada hadith nombor 2227 disebutkan bahawa Nabi sallaLLahu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang bererti :
“Barangsiapa
yang melaknat seorang Mukmin maka itu seperti membunuhnya dan
barangsiapa yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran maka itu
seperti membunuhnya.”
Jika anda melihat ada orang Islam atau bergelar
ulama yang pada zahirnya sungguh mengagumkan hati anda dari sudut
pakaiannya, wajahnya, berjubah dan panjang janggutnya dan pandai
berceramah berapi-api tetapi kerjanya memfitnah dan menuduh orang Islam
lainnya sesuka hati hatta di dalam masjid. Perbuatan itu sebenarnya
lebih berbahaya dari dosa berjudi, minum arak, berzina kerana dosa-dosa
yang terakhir ini hanya melibatkan dosa bersifat peribadi, sedangkan
menyibar fitnah dan menuduh orang Islam lainnya tanpa asas dapat
menyesatkan orang ramai dan menanam benih permusuhan dikalangan umat
dan buruk sangka sesama sendiri. Ini sebenarnya kerja-kerja Syaitan
Insan yang kurang disadari oleh kebanyakan umat Islam. Apalagi puak
yang dituduh mempunyai dalil atau hujjah yang lengkap dari Al-Quran dan
Sunnah Rasul-Nya. Sila lihat Nota berikutnya : Syaitan Jin Dan Syaitan
Manusia.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى
لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنِ ادَّعَى مَا
لَيْسَ
لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ
كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Dari Abu Dzar, dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak ada seorang lelakipun yang
mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur. Barangsiapa yang
mengaku sesuatu yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk golongan kami dan hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang
memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.
TAKHRIJ HADITS
Hadits
dari sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari ini, diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam shahihnya di dua tempat; kitab Al Manaqib, Bab
Nisbatul Yaman Ila Isma’il, hadits no. 3317 dan kitab Al Adab, Bab Ma
Yanha Minas Sibab Wal La’ni, hadits no. 5698 dan Imam Muslim dalam
shahihnya, kitab Al Iman, Bab Bayan Hali Iman Man Raghiba An Abihi
Wahua Ya’lam, hadits no. 214.
SYARAH HADITS
1.
Sabda Rasulullah yang artinya: Tidak ada seorang lelakipun yang
mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu, kecuali
dia telah kafir.
Mengakui orang lain sebagai orang tua kandung,
padahal bukan orang tuanya termasuk dosa besar. Kebiasaan seperti
banyak dilakukan oleh orang kafir Quraisy pada zaman dulu untuk mencari
popularitas. Kemudian kebiasaan ini dilarang oleh agama Islam. Bahkan
dalam hadits di atas, perbuatan seperti ini dianggap sebuah kekufuran.
Kata kufur disini mengandung dua makna. Pertama, kafir yang sebenarnya
jika perbuatan ini dianggap halal. Dan makna kedua, yaitu kufur (tidak
bersyukur) terhadap nikmat, kebaikan, hak Allah dan hak orang tua.
Kekufuran
yang disebutkan dalam hadits ini bukanlah kekufuran yang mengakibatkan
seseorang murtad dari agama ini. Kata kufur disini, bermakna sama
dengan kata kufur yang terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ
أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ
يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى
إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ
مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Aku diperlihatkan neraka,
tiba-tiba (aku lihat) kebanyakan penghuninya adalah perempuan yang
kufur. Beliau ditanya,”Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau
menjawab,”Mereka kufur kepada suami dan kebaikannya. Jika engkau berbuat
baik kepada salah seorang diantara mereka selama setahun, kemudian
melihat sesuat yang mengecewakan, dia akan berkata,
’Saya tidak pernah melihat kebaikanmu sedikitpun’. [HR Bukhari].
Rasulullah menjelaskan kata kufur disini dengan kufur kepada suami dan kebaikan. [1]
Jadi
orang yang mengakui orang lain sebagai bapaknya, padahal dia tahu itu
bukan bapaknya, maka dia telah kufur terhadap orang tuanya. Padahal
orang tuanya merupakan orang yang paling berhak padanya. Orang tuanya
telah melahirkan, mendidik dan memeliharanya. Karenanya Allah
meletakkan kewajiban bersyukur kepada kedua orang tua setelah kewajiban
bersyukur kepada Allah. Sebagaimana firmanNya,
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Hendaklah kamu bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. [Luqman :14 ]
2.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :
Barangsiapa yang mengakui yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk
golongan kami dan hendaklah ia menjadikan tempat duduknya dari api
neraka.
Kata da’wa
( الدعوى ) , maksudnya seseorang mengakui sesuatu sebagai miliknya, haknya atau yang sejenisnya.
Sedangkan
menurut syar’i, da’wa adalah mengaku berhak atas sesuatu yang sedang
berada dalam tanggungan seseorang, atau berada di tangan orang lain
atau yang sejenis nya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
diatas memiliki makna yang umum. Mencakup semua pengakuan, baik mengaku
memiliki, mengaku berhak, mengaku anak atau yang lainnya. Semua itu
masuk dalam pengertian hadits tersebut.
Adapun sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia bukan golongan kami,
maksudnya ialah ia tidak berada di atas sunnah kami dan tidak berada di
atas jalan kami yang indah. Beliau tidak bermaksud mengkafirkan orang
ini, meskipun secara dhahir ucapan ini mengkafirkan.
Dalam masalah pengakuan ini, terdapat juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
لَوْ أُعْطِيَ النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعَى
Kalau
seandainya orang-orang itu diberi sesuai dengan pengakuan mereka,
tentu mereka akan mengaku berhak atas darah atau nyawa orang dan harta
orang, akan tetapi wajib atas orang yang mengaku mendatangkan bukti.
Maksudnya,
jika seseorang diberikan hanya berdasarkan pengakuan saja, maka boleh
jadi ada orang yang mengaku berhak atas nyawa seseorang dengan tuduhan
sebagai pembunuh atau sejenisnya. Maka wajib atas orang yang mengaku
atau menuduh untuk mendatangkan bukti nyata dan wajib atas orang yang
tertuduh itu bersumpah untuk membela diri, jika memang dia tidak benar.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Penuduh wajib mendatangkan bukti dan orang yang tertuduh wajib bersumpah. [HR Tirmidzi].
Mengenai
sabda Beliau, hendaklah dia menempati rumahnya dari api neraka, para
ulama berpendapat, bahwa ungkapan itu berkisar antara do’a Beliau atau
pemberitahuan. Tetapi dengan lafadz perintah. Imam Nawawi mengokohkan
pendapat yang kedua, Beliau berkata, ”Itu pendapat yang paling jelas
diantara dua pendapat.”
Maksudnya orang yang mengaku-ngaku
terhadap sesuatu yang bukan haknya, maka dia akan mendapatkan balasan
berupa tempat tinggal dari api neraka. Namun ini bukan berarti, bahwa
balasan itu pasti akan didapatkan, karena boleh jadi ia bertaubat
sebelum mati, lalu Allah menerima taubatnya dan mengampuni orang
tersebut sehingga terbebas dari siksa.
3. Sabda Rasulullah yang artinya: Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan
“kafir” atau
“musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda,
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا
بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ
لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
Dari Abu Dzar
Radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,”Tidaklah seseorang menuduh orang lain
dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan. [HR Bukhari]
Dua
hadits diatas menjelaskan kepada kita bahaya ucapan kafir. Tuduhan
kafir yang ditujukan kepada seorang muslim, pasti akan tertuju kepada
salah satunya, penuduh atau yang dituduh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Apabila
ada seseorang yang mengkafirkan saudaranya (seiman-red) maka salah
satu dari keduanya akan tertimpa kekufuran. [HR Muslim].
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya,
“hai orang kafir,”
maka kata itu akan menimpa salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan
(berarti orang yang dituduh menjadi kafir); jika tidak, maka tuduhan
itu akan menimpa orang yang menuduh. [HR Muslim].
Jika panggilan
itu keliru, artinya orang yang dipanggil kafir tidak benar kafir, maka
kata kafir akan kembali kepada orang yang memanggil. Wal iyadzu billah.
Jika benar, maka dia selamat dari resiko kekafiran atau kefasikaan,
namun bukan berarti ia selamat dari dosa. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Hajar.
[2] Maksudnya, orang yang memanggil saudaranya dengan
kata kafir atau fasiq, meskipun benar, namun boleh jadi ia menanggung
dosa. Misalkan jika maksud dan tujuannya untuk mencela, membongkar aib
orang di masyarakat atau memperkenalkan orang ini. Perbuatan seperti
ini tidak diperbolehkan. Kita diperintahkan untuk menutupi aib ini
kemudian membimbing dan mengajarinya dengan lemah lembut dan bijaksana.
Sebagaimana firman Allah,
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Berserulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan dengan nasihat yang baik. [An Nahl:125]
Selama
masih bisa dibimbing dengan lemah lembut, maka jalan kekerasan tidak
boleh ditempuh. Dan juga, panggilan kafir dan fasiq sering membuat
orang menjadi marah. Lalu syaithan mendorongnya untuk terus-menerus
melakukan perbuatan dosa. Sehingga kadang ada yang mengatakan,“Ya saya
ini kafir,” kemudian terus-menerus berbuat dosa.
Adapun jika
orang yang mengucapkan, hai kafir atau hai fasiq, bertujuan untuk
menakut-nakuti orang yang dipanggil agar menghindari
perbuatan-perbuatan dosa, atau untuk menasihatinya dan atau untuk
menasihati orang lain agar menjauhi perbuatan yang dilakukan orang ini,
maka orang ini jujur dan pada saat yang sama dia mendapatkan pahala.
BAGAIMANA DENGAN KEIMANAN YANG MENUDUH ?
Permasalahan
yang muncul selanjutnya ialah keimanan orang yang memanggil saudaranya
dengan kafir. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Dan
barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau
“musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali
kepada penuduh. [HR Muslim].
لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا
بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ
إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
Tidaklah seseorang
menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir,
kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh, jika orang yang
tertuduh tidak seperti yang dituduhkan. [HR Bukhari].
Apakah ia
menjadi kafir sebagaimana dhahir hadits di atas ataukah tidak? Para
ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna maka tuduhan itu akan
kembali kepada penuduh.
Pendapat Pertama mengatakan : Dia menjadi kafir jika diikuti dengan keyakinan halalnya mengkafirkan orang muslim.
Pendapat Kedua mengatakan : Yang kembali ke penuduh ialah dosa mencela dan mengkafirkan saudaranya.
Pendapat Ketiga
mengatakan : Ini ialah haknya orang-orang Khawarij yang mengkafirkan
kaum muslimin (karena melakukan dosa besar, pent). Pendapat ini dinukil
oleh Qhadhi Iyadh dari Imam Malik bin Anas. Namun pendapat ini
dilemahkan oleh Imam Nawawi, karena menurut pendapat yang shahih
sebagaimana ucapan banyak ulama dan para pen-tahqiq, bahwa orang
Khawarij tidak boleh dikafirkan, seperti juga semua ahlul bid’ah tidak
boleh dikafirkan.
Pendapat Keempat mengatakan :
Bahwa perbuatan mengkafirkan itu akan menyeret kepada ke-kufuran.
Maksudnya, perbuatan ini (merusak kehormatan kaum muslimin dan
mengkafirkan tanpa alasan yang benar), dapat menyeret pelakunya kepada
kekufuran. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Awanah.
وَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ فَقَدْ بَاءَ بِالْكُفْرِ
Jika kenyaataannya sebagaimana ucapannya (maka dituduh kafir) dan jika tidak benar, maka dia kembali dengan membawa kekufuran.
Pendapat Kelima
mengatakan : Bahwa yang kembali kepada penuduh ialah dosa mengkafirkan.
Bukan kekufuran yang hakiki, tapi hanya dosa mengkafirkan, karena
mengkafirkan saudaranya. Maka seakan-akan mengkafirkan dirinya sendiri
atau mengkafirkan orang yang sama dengannya. Wallahu a’lam. [3]
Singkat
kata, perkataan seperti ini sangat berbahaya untuk diucapkan. Sudah
sewajarnya (seharusnya) kita berhati-hati menggunakan kalimat tersebut.
Janganlah terburu-buru menggunakan kata kafir, fasiq atau yang
sejenisnya. Karena kekufuran merupakan hukum syar’i yang berdasarkan
nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah. Janganlah mengkafirkan seseorang,
kecuali yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Mengkafirkan
seseorang karena perbedaan pendapat atau karena emosi merupakan dosa
besar.
KESIMPULAN
Mengkafirkan seseorang
harus berdasarkan dalil syar’i, yaitu dari Al Qur’an, Al Hadits yang
shahih dan Ijma’. Disamping harus mengetahui syarat-syaratnya, juga
harus mengetahui tentang ketiadaan hal-hal yang bisa menghalangi dari
takfir (mengkafirkan). Karena takfir itu merupakan hukum syar’i yang
memiliki syarat-syarat dan mawani’ (faktor-faktor yang menghalangi
takfir). Jika syarat-syarat sudah terpenuhi dan mawani’ sudah tidak ada
lagi, maka barulah seseorang itu boleh dikafirkan dan boleh dianggap
murtad dari Islam. Tidak semua orang yang melakukan perbuatan kufur itu
kafir. Karena boleh jadi dia melakukannya karena tidak mengetahui,
bila itu merupakan perbuatan kufur. Wallahu a’lam.
PELAJARAN DARI HADITS
• Larangan mengakui orang lain sebagai oang tua kandung (Adopsi, admin).
•
Perbuatan seperti ini termasuk kekufuran yang mengakibatkan pelakunya
bisa masuk neraka, kecuali jika ia bertaubat dan Allah menerima
taubatnya.
• Larangan mengakui sesuatu yang bukan haknya.
• Larangan mencela kaum muslimin dengan berbagai macam celaan. Seperti menyebutnya kafir atau fasiq.
• Peringatan agar kita waspada terhadap penggunaan kata kafir atau sejenisnya yang dapat merusak harga diri seorang muslim.
Maraji’
- Syarah Sahih Muslim, oleh Imam Nawawi.
– Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, oleh Al Hafidz Ibnu Hajar.
– Majalah Al Furqan, edisi 172 dan 173.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M ]
Artikel: Almanhaj.or.id dipublikasi kembali untuk Moslemsunnah.Wordpress.com
http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/04/27/bahaya-menuduh-orang-dengan-kata-kafir-atau-fasiq/